JAKARTA, RAMBUKOTA – Salah satu adat atau kebiasaan yang sering ditemui dalam keseharian umat Islam Indonesia ialah tahlilan. Kendati sudah banyak ulama yang menjelaskan hukumnya, namun hingga kini, kegiatan ini masih saja mengandung kontroversi.
Selanjutnya terkait pembayaran fidyah yang umumnya dilakukan sebagai pengganti ibadah puasa yang ditinggalkan oleh si mayyit. Bolehkah fidyah dilakukan juga untuk mengganti ibadah Salat yang telah ditinggalkan si mayyit?
Simak penjelasan yang disampaikan Ustadz H Fawwaz Zawawi dalam menjawab pertanyaan salah seorang pembaca Rambukota.com.
Pertanyaan
Dari 081314XXXXX
Saya ingin bertanya mengenai orang yang meninggal, setelah itu ada tahlil selama tujuha hari, dilanjut setiap malam Jumat sampai hari ke-40. Selama ada tahlil ada juga yang membeli beras dengan tujuan sebagai fidyah (pengganti semua Salat dan puasa selama almarhum hidup yang belum terbayar).
Apakah hal ini ada dalam tuntunan ajaran Islam? Atau apakah itu hanya rekayasa saja? Terimakasih
Jawab
Tahlilan merupakan ritual yang dilakukan setelah kematian salah seorang umat Islam. Biasanya kegiatan tahlilan dimulai dari malam kesatu hingga malam ketujuh, lalu malam ke-30 hari, hingga malam ke-40 hari. Bahkan, ada pihak keluarga yang menggelar malam ke-100 dan malam ke-1000.
Jadi, ini adalah merupakan kebiasaan masyarakat yang dapat diambil sebagai suatu hukum selama kebiasaan tersebut tidak menyalahi syariat Islam. Lalu, apakah tahlilan ini menyalahi syariat Islam?
Jika melihat isi dari rangkaian kegiatan tahlilan, di mana acaranya berupa pembacaan surat Yasin, serta ayat-ayat Alquran mulai surat Al Ikhlas sebanyak tiga kali, lalu Al Falaq, An Nas, dan Al Fatihah. Ada pula bacaan zikiran lain, mulai dari kalimat tahlil, shalawat, tasbih, istigfar, dan ditutup dengan mendoakan si mayyit atau orang meninggal dunia tersebut.
Sebagaimana diketahui, setiap orang yang membaca ayat Alquran serta zikiran akan mendapatkan balasan pahala, lalu pahala tersebut dihadiahkan kepada si mayyit. Sehingga, ritual tahlilan tersebut, kendati tidak ada di zaman Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam dalam bentuk perkumpulan jemaahnya itu, tidak pantas dikatakan sebagai bid’ah.
Alasannya, isi dari rangkaian kegiatan tahlilan tersebut merupakan kebaikan yang telah diajarkan serta bentuk kepedulian untuk masyarakat menghadiahkan pahala bacaan dan zikir kepada si mayyit.
Kemudian, terkait waktu pelaksanaan tahlilan semisal tiga hari, tujuh hari, ataupun 100 hari, sejatinya para ulama tidak menentukan harinya. Mendoakan mayyit atau orang yang meninggal dunia bisa dilakukan kapan pun. Penentuan hari ini hanya suatu hal yang lumrah dilakukan kebanyakan umat muslim di Indonesia.
Dalam satu kaidah usul fiqih dikatakan, suatu adat atau kebiasaan masyarakat bisa dijadikan suatu hukum selama adat tersebut tidak melanggar syariat agama Islam.
Hukum Fidyah
Salat merupakan kewajiban yang terus melekat kepada setiap individu selama ia masih memiliki akal.
Permasalahan kedua yaitu terkait pemberian fidyah yang dilakukan oleh keluarga mayyit atau shohibul musibah. Apakah boleh fidyah atau sedakah beberapa liter beras sebagai pengganti ibadah Salat yang ditinggalkan si mayyit?
Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan, tidak ada penggantian beras atau fidyah untuk mengganti kewajiban ibadah Salat wajib yang ditinggalkan si mayyit. Sebab, ibadah Salat merupakan ibadah individu yang tidak mungkin digantikan oleh orang lain.
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW terkait keharusan ibadah Salat. Jika seorang muslim tidak bisa Salat dalam keadaan berdiri, maka ia wajib melakukannya dengan duduk, kalau tidak bisa juga maka harus dilakukan dengan keadaab berbaring, dan seterusnya hingga wajib dilakukan dengan gerakan isyarat jika tak sanggup juga dengan keadaan berbaring.
Sehingga, Salat merupakan kewajiban yang terus melekat kepada setiap individu selama ia masih memiliki akal. Jika dalam keadaan sakit dan masih memiliki akal, kewajiban Salat tidak boleh ditinggalkan.
Jikalau seseorang yang sakit dalam keadaan koma, maka saat itu kewajiban Salatnya diangkat sampai ia tersadar. Dan Salat yang telah ditinggalkan selama keadaan koma tetap wajib di qodo atau diganti di waktu yang lain.
Namun demikian, terdapat juga ulama yang berpendapat bolehnya membayar fidyah untuk pengganti Salat yang telah ditinggalkan si mayyit. Satu waktu Salat dapat diganti dengan mengeluarkan beras sebanyak satu mud, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Fathul Muin. Wallahu a’lam bisshowab.