JAKARTA, RAMBUKOTA – Isu akan nasib Provinsi DKI Jakarta pasca pemindahan ibu kota ke Nusantara terus bergulir. Sejumlah wacana dilontarkan kalangan akademisi dan budayawan mengenai bentuk kota yang dulu sempat bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia tersebut ke depannya.
Junadi M.Si, Pengurus Bamus Suku Betawi 1982 sekaligus Dosen ISTA Al Kamal Jakarta mengatakan, setidaknya ada tujuh isu yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam mengubah UU Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI. Pertama, hak otonomi Jakarta sebagai daerah tingkat provinsi serta kabupaten/kota di bawahnya.
“Jakarta selama ini tidak mendapat dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat karena sebagai ibu kota negara dan tertinggi dalam pendapatan asli daerah (PAD),” kata dia dalam keterangan pers, Selasa (1/3/2022).
Kedua, selama ini kelurahan atau pemerintahan tingkat desa tidak menerima alokasi dana desa. Selanjutnya, hak otonomi dalam pemilihan bupati dan wali kota yang selama ini dipilih dengan penunjukan langsung oleh gubernur. Keempat, pemilihan anggota legislatif tingkat dua atau kabupaten/kota.
Kemudian, setelah tidak lagi menjadi Ibu Kota NKRI, warga DKI juga berhak untuk memperoleh pembelajaran di bidang muatan lokal khususnya budaya Betawi. Keenam, pemerintah provinsi juga mesti memperhatikan kembali situs-situs budaya yang saat ini sangat mini, yakni hanya berlokasi di Setu Babakan, Jakarta Selatan.
Terakhir, untuk memajukan kebudayaan Betawi, warga Jakarta berhak memperoleh hak khusus untuk memanfaatkan aset negara yang telah dipindah ke Kota Nusantara. “Misalnya, di daerah yang pernah dihuni oleh warga Betawi, seperti kawasan Kemayoran, kawasan Senayan, kawasan Monas itu sebaiknya untuk dikembalikan lagi ke Pemerintah Jakarta dan kemudian diperuntukan masyarakat suku Betawi,” imbuh dia.
Sementara, Firman Haris, Ketua Yayasan Kota Tua Jakarta menambahkan, pasca perubahan ibu kota, semestinya pemerintah juga mampu memperhatikan potensi wisata dan tidak hanya fokus memperhatikan aspek industri dan bisnis. Salah satunya, di bidang wisata sejarah.
Ia menjelaskan, kota yang diapit oleh Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat ini memiliki keunikan dan kekayaan sejarah, maklum wilayah ini pernah berkali-kali mengalami perubahan nama kota, mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga akhirnya menjadi Jakarta.
“Pemerintah provinsi harus menyadari akan potensi ini. Upayanya bisa dengan melakukan pendekatan sosial dan komunitas untuk mengungkapkan bagaimana menemukan pembentukan budaya maupun sejarahnya,” ujar Firman.