JAKATA, RAMBUKOTA – Pemilu Presiden 2029 tampaknya bakal jauh lebih banyak mendatangkan peserta ketimbang hajatan politik di tahun-tahun sebelumnya. Sebab, tidak akan berlaku lagi kebijakan terkait batasan batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) alias presidential threshold.
Nantinya, setiap partai politik diperkenankan untuk mengusung pasangan capres-cawapres sendiri sebesai peserta kontestasi Pilpres. Sebelumnya, dalam Pilpres 2024 contohnya, hanya parpol atau gabungan parpol peserta pemilu dengan jumlah 25 persen kursi DPR RI atau 20 persen suara sah saja yang bisa mengajukan calon.
Perubahan kebijakan ini berlaku setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 222 UU Nomor 7/2017 terkait presidential threshold melanggar konstitusi. “Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, Kamis (2/1/2025).
Pasal 222 diputuskan bertentangan dengan Pasal 6A UUD 1945 lantaran dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Selain itu, MK juga menilai kebijakan presidential threshold melanggar moralitas dan rasionalitas, bahkan membuka ruang ketidakadilan yang besar.
Sekadar informasi, kebijakan presidential threshold mulai berlaku pada Pilpres 2004 atawa semenjak Indonesia menerapkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Tapi, selama ini gugatan terkait ambang batas tersebut selalu kandas di MK.
Baru sekarang inilah lewat Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK akhirnya betul-betul menolak kebijakan ambang batas. Mahkamah menilai, jika tetap mempertahankan presidential threshold justru akan menimbulkan kecenderungan agar peserta Pilpres yang muncul hanya dua pasangan calon.
Dampaknya akan mudah timbul polarisasi yang bisa mengancam kebhinekaan Indonesia. Bahkan, MK juga beranggapan, jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan Pilres akan terjebak dengan calon tunggal versus kotak kosong, sebagaimana yang banyak terjadi di Pilkada 2024.
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang jika kebijakan ambang batas terus dipertahankan. Oleh karena itu, akhirnya mahkamah memutuskan untuk Pasal 222 UU Nomor 7/2017 inkonstitusional.
Menurut dia, salah satu tujuan amandemen konstitusi atau memasukkan pasal 6A UUD 1945 ialah untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat. “Serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” sebut Saldi.