JAKARTA. RAMBUKOTA – Nama Syekh Muhammad Saman di kalangan masyarakat Betawi hingga kini masih begitu melekat. Di sejumlah kampung, manakib alias biografi beliau masih menjadi pilihan bacaan oleh warga Jabodetabek sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Taala atas karunia setelah melalui fase tertentu dalam kehidupan.
Syekh Saman yang memiliki nama asli Muhammad Bin Abdul Karim ini lahir di Madinah sekitar tahun 1718 atau 1132 Hijriah. Ulama ini wafat pada tahun 1775 dan dikebumikan di pemakaman Baqi, Madinah.
Kendati lokasi dakwahnya terbentang jarak dengan Tanah Air dan perbedaan rentang waktu yang sangat jauh dengan masa sekarang, nama harum Syekh Muhammad As Samman Al Madani tetap terjaga. Riwayatnya yang ditulis dengan aksara Arab Melayu masih menjadi bacaan di kalangan warga maupun ulama asal Betawi.
Dr A Ginanjar Sya’ban M.Hum, Co-Fouder Nahdlatut Turots serta Penulis Sejarah Keilmuan Islam mengatakan, nama besar Syekh Saman di kalangan masyarakat Indonesia dan Betawi khususnya cukup harum lantaran ulama ini memiliki pengaruh yang kuat pada ulama-ulama Nusantara pada abad 18 dan awal 19. Para Tokoh agama tersebut kemudian menjadi bagian penting dalam rantai sanad atau jaringan keilmuan para ulama setelahnya di abad 19 dan 20.
“Beliau punya beberapa murid, yang di antarnya termasuk dari Nusantara. murid-muridnya ini kebetulan juga yang punya pengaruh besar dalam perkembangan pemikiran Islam di wilayah Nusantara ini,” katanya dalam seminar Hikayat Syekh Saman yang digelar di PDS HB Jassin Komplek Taman Ismail Marzuki (TIM) pada akhir pekan lalu, Jumat (29/7/2022).
Dr Ginanjar mencatat, sedikitnya ada tiga ulama asal Indonesia atawa Nusantara kala itu, yang berkontribusi dalam penyebaran manakib Syekh Saman. Masing-masingnya yaitu,
1. Syekh Abdul Shomad Al Palembani
Ulama asal Sumatera bagian selatan ini hidup pada abad 18. Menurut Dr Ginanjar, Syekh Abdul Shomad merupakan murid kesayangan dari Syekh Saman Al Madani dan kemudian banyak mengajar kepada ulama-ulama di Jawa dan Sumatera.
Syekh Abdul Shomad banyak menghasilkan banyak karya tulis yang hingga sekarang masih dibaca kalangan umat Islam di Indonesia. Di antaranya, kitab Hidayatus Salikin yang merupakan terjemahan bahasa Melayu dari Biyatul Hidayah, serta kitab Siyarus Salikin yang merupakan kitab terjemahan bahasa Melayu dari kitab Ihya Ulumuddin. Kedua kitab tersebut merupakan karya Al Imam Al Gozhali.
2. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Selain Syekh Abdul Shomad, murid lain Syekh Muhammad Saman juga ada yang berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan. Namanya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Ulama yang wafat pada tahun 1812 ini merupakan penulis bidang hukum Fiqih, yang hingga saat ini karyanya masih menjadi rujukan para ahli agama. Kitab yang beliau tulis berjudul Sabirul Muhtadin fi Tafaqquh bi Amriddin.
Meskipun beliau orang Kalimantan, namun rupanya ia punya jejak sejarah dengan masyarakat Betawi. Pada tahun 1780, ketika Syekh Muhammad Arsyad hendak pulang dari Madinah menuju Banjar, beliau sempat singgah di Batavia menulis karya tulis dalam bidang Astronomi terkait dengan Betawi.
BACA JUGA :
- KH Abdul Ghoni Basmol dan Potret Jemaah Haji Indonesia 1950
- Peluang Usaha Anda
- Lurah Jufri Terharu Disambut Palang Pintu Mengawali Jabatan di Meruya Utara
Adapun kitab yang ditulis Syekh Arsyad diberi judul Risalah Masalatul Kiblat fi Al Batawi. Karya ini memaparkan sejumlah persoalan dan problematika dalam penetapan arah kiblat di Batavia pada masa itu.
3. Syekh Abdurrahman Al Mishri
Ulama ketiga yang memiliki pengaruh dalam penyebaran manakib Syekh Muhammad Saman yaitu Syekh Abdurrahman Al Mishri Al Batawi. “Ternyata Syekh Saman juga punya murid dan menjadi ulama besar di Batavia, namanya Syekh Abdurrahman Al Mishri Al Batawi. Itulah kenapa ratib Saman berkembang di masyarakat Betawi, karena memang salah satu muridnya berasal dari sini,” tutur Dr Ginanjar.
Syekh Abdurrahman lebih dikenal sebagai ahli di bidang astronomi dan tasawuf tarikat Samaniyah. Ulama yang merupakan kakek dari Habib Usman Bin Yahya Mufti Betawi ini dimakamkan di halaman Masjid Jami Al Islam Petamburan Jakarta Barat.
Menurut Dr Ginanjar, pengaruh ketiga ulama asal Nusantara tersebut menjadi alasan tradisi pembacaan ratib atau manakib Syekh Sama lebih berkembang di Tanah Betawi ketimbang riwayat hidup ulama lainya. “Ini berbeda dengan yang berkembang di Jawa dan Sunda, di mana tradisi yang dibacakan adalah manakib Syekh Abdul Qodir Al Jilani,” tutur dia.
Sementara, Dr Muhammad Sholeh Hasan Lc MA, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, sekarang ini tradisi pembacaan manakib Syekh Saman mulai luntur. Hal tersebut terjadi lantaran generasi muda khususnya kaum milenial kurang tertarik akan khasanah literasi sastra klasik beraksara Arab Melayu.
Menurutnya, untuk melestarikan kembali tradisi ini perlu ada dobrakan besar, misalnya dengan menggalakkan kembali diskusi mengenai peran-peran ulama tempo dulu dan tidak melulu hanya lewat pembacaan manakib. “Pembelajaran dari sisi isi manakib juga perlu, harus ada alasan dan penjelasan agar isinya tidak lagi sensitif serta perlu diberikan ulasan. Untuk menghindari kesalahpahaman isi juga,” ujar Dr Sholeh.